Terlahir Untuk Menjadi Raja
Cerita Anak _ Suatu hari,
Nala, teman lama Simba, muncul di hutan dan memohon agar Simba pulang ke Karang
Singa, tempat Scar, paman Simba yang jahat, telah mengambil kedudukan sebagai
raja.
“Aku tidak
bisa pulang,” Simba berkeras. “Mengertilah, kadang hal buruk terjadi, dan kita
tak bisa berbuat apa-apa. Jadi, untuk apa mencemaskannya?
Malam itu,
Simba menjelajahi bentangan dataran tinggi berumput. Apa yang akan kubuktikan
jika aku kembali ka Karang Singa? Pikirnya. Itu takkan mengubah apa pun. Kita
tak bisa mengubah masa lalu.
Ketika Simba
sedang berkelana, seekor babun melompat turun dari pohon dan mengikutinya.
“Tolong berhenti mengikutiku!” geram Simba. “Siapa kau?” Rafiki berkata,
“pertanyaannya adalah: Siapa kau?” “Tadinya
kupikir aku tahu.” Simba menghela napas. “Tapi, sekarang aku tidak yakin.”
Rafiki terkekeh. “Aku tahu siapa kau. Kau putra Mufasa.”
“Dulu kau kenal
ayahku?” Tanya Simba terperangah.
“Salah!” jawab Rafiki. “Sekarang aku kenal
ayahmu.”
Simba menggeleng sedih. “Aku tak suka harus memberitahumu berita ini,
tapi dia sudah lama mati.”
“Tidak!”
sergah babun itu. “Salah lagi! Dia masih hidup. Akan kuperlihatkan kepadamu.
Ikuti si tua Rafiki. Dia tahu jalannya!”
Simba
mengikuti Rafiki ke sebuah kolam. Rafiki menyibakkan batang buluh dan berkata,
“Ssstt. Lihat di bawah sana.”
Simba
mengintip ke dalam air, berharap akan melihat keajaiban. “Itu bukan ayahku,”
katanya pelan. “Itu hanya pantulanku.” “Tidak,” Rafiki berkeras. “Lihat lebih
teliti.” Simba mencoba. Memang benar ia mirip Musafa, tapi…
“Lihat?”
kata Rafiki. “Ayahmu hidup dalam dirimu.”
Lalu Simba mendengar suara agung
Musafa menggelegar di angkasa. Simba menengadah menatap bintang-bintang.
“Simba,” perintah Musafa, “kau harus mengambil tempatmu dalam lingkara
kehidupan. Ingat siapa dirimu.
Kau putraku, dan satu-satunya raja yang sejati.
Ingat… ingat…”
Ketika suara
itu memudar, Rafiki mengedipkan sebalah mata dan berkata, “Apa itu tadi?
Cuacanya… sangat aneh!”
“Sepertinya
angin akan berubah,” kata Simba.” “Perubahan itu bagus!” jawab Rafiki. “Ya,”
kata Simba, “tapi tidak mudah. Aku tahu apa yang harus kulakukan, tapi… pulang
berarti aku harus menghadapi masa laluku.”
Rafiki
mengangkat tongkatnya dan memukul kepala Simba. “Aduh!” teriak Simba. “Kenapa
aku dupukul?” Rafiki tertawa. “Tidak penting kenapa. Itu sudah lewat, sudah
masa lalu!”
“Ya,” kata
Simba sambil menggosok-gosok kepalanya, “tapi masih terasa sakit.” “Oh, memang,
masa lalu bisa menyakitkan.
Tapi, menurutku, kita bisa menghindari masa lalu…
atau belajar darinya.”
Simba
akhirnya yakin. Ia berlari menerobos rerumputan tinggi, menuju Karang Singa. Ia
akan menantang Scar. Sudah waktunya.
#Kau tak bisa mengubah masa lalu, tapi kau bisa memperbaiki masa depan#