Senin, 06 Februari 2017

Bahagia Dalam Sedih

Bahagia Dalam Sedih
Kate Chopin

220px-Kate-Chopin-The-Story-An-Hour-1
Karena Nyonya Mallard menderita penyakit jantung, maka adiknya, Josephine, memberitahukan kabar kematian suami kakaknya itu dengan sangat hati-hati. Kabar tersebut tidak dikatakannya secara langsung, namun dengan kalimat-kalimat yang mengandung penuh petunjuk.
Teman suaminya, Richards, juga hadir di sana. Dialah yang sedari tadi berada di kantor surat kabar ketika dia mendengar berita bahwa kereta yang ditumpangi temannya mengalami kecelakaan. Saat dia membaca daftar korban kecelakaan, dia melihat nama Brently Mallard berada di barisan teratas daftar korban yang tewas. Namun dia tidak serta merta menerima kebenaran informasi tersebut. Setelah telegram kedua tiba dengan informasi yang sama, dia segera bergegas ke rumah Nyonya Mallard, dan berharap agar tidak ada orang yang menyampaikan berita ini kepadanya dengan sembrono.
Setelah Josephine selesai berbicara, Nyonya Mallard hanya berdiri mematung seolah tidak begitu mengerti dengan kalimat-kalimat yang diucapkan oleh adiknya. Kemudian dengan tiba-tiba dia menangis sehisteris mungkin dalam dekapan Josephine. Ketika badai kesedihan dalam dirinya reda, dia beranjak pergi ke kamarnya. Sebelum pergi dia berpesan agar tidak ada seorangpun yang mengikutinya karena dia ingin menenangkan diri sejenak dan tidak ingin ada yang mengganggunya.
Di dalam kamarnya terdapat sebuah kursi santai yang diletakkan menghadap ke jendela yang terbuka. Di situlah ia duduk untuk melepas semua tekanan yang merasuki tubuh dan sampai ke jiwanya.
Dari sana dia dapat melihat pemandangan yang ada di depan rumahnya. Puncak-puncak pohon yang bergoyang dengan girangnya menyambut kedatangan musim semi. Harum napas hujan yang semerbak bergerak di udara. Lantunan nada dari sebuah lagu yang berasal dari kejauhan terdengar sayup-sayup. Dan ratusan burung pipit berkicau di atap rumahnya. Di langit yang biru awan berarak dan saling menumpuk.
Dia duduk dengan kepala bersandar pada bantal kursi, tidak bergerak sama-sekali, kecuali ketika isak tangis mencegat tenggorokannya dan menggetarkan tubuhnya, seperti seorang anak kecil yang menangis sampai tertidur lalu lanjut menangis dalam mimpinya.
Dia masih muda. Wajahnya selalu terlihat tenang dan bercahaya. Garis-garis pada wajahnya memberi kesan bahwa dia adalah seorang wanita yang berjiwa tangguh. Namun sekarang matanya menatap jemu awan di atas sana. Dia tidak sedang melamun. Dia hanya sedang memikirkan sesuatu.
Sebuah perasaan datang dan mencoba menghinggapinya. Dia tidak begitu mengerti apa yang sedang dirasakannya. Perasaan itu begitu halus dan sulit untuk dijelaskan. Tapi dia merasakannya dengan jelas. Seolah seperti sebuah aroma, perasaan itu memenuhi udara di sekitarnya.
Sekarang dadanya naik-turun dengan gaduh. Dia mulai dapat memahami perasaan yang menghantuinya ini. Dengan sekuat tenaga, Nyonya Mallard mencoba mengalahkan dan mengusir perasaan ini.
Ketika perasaan itu mulai menenggelamkan dirinya, seuntai bisikan kata keluar dari bibirnya yang sedikit terbuka. Nyonya Mallard mengulanginya berkali-kali, “Bebas, bebas, aku bebas!” Tatapan jemu dan rasa takut yang tadi menghantuinya, kini lenyap tak meninggalkan jejak. Matanya kembali tajam dan cerah. Nadinya berdebar kencang dan darahnya mengalir hangat di dalam pembuluh darahnya.
Dia bertanya-tanya apakah yang dirasakannya ini merupakan ledakan suka cita atau bukan. Namun firasatnya mengatakan agar mengabaikan hal sepele seperti ini. Tidak peduli apa yang sedang melandanya, yang terpenting adalah dia merasa sangat bahagia.
Dia sadar bahwa dia pasti akan menangis lagi ketika melihat tangan lembut suaminya terlipat dalam kematian. Dia juga membayangkan wajah suaminya, yang tampak tak pernah diisi dengan cinta terhadap dirinya, terbujur kaku dan pucat. Tapi dia tetap optimis. Dia mulai membayangkan hal-hal indah apa saja yang akan dia temui dalam hidupnya. Dengan membuka dan merentangkan kedua tangannya dia siap menyambut momen-momen indah tersebut.
Dia tidak akan lagi hidup demi orang lain. Dia akan hidup untuk dirinya sendiri. Menurut Nyonya Mallard, lelaki selalu berpikir bahwa kaum wanita harus selalu tunduk dan setia pada semua perintah suaminya, karena wanita harus mendahulukan kepentingan kaum pria. Namun sekarang tidak akan ada lagi yang bisa menghalangi niatnya. Dia akan bebas melakukan apapun sesuka hatinya tanpa larangan dari seorang suami. Jika mengingat kembali hari-hari yang dilalui bersama suaminya, Nyonya Mallard merasa tidak terlalu berdosa karena berpikir seperti ini.
Walau bagaimanapun, dia mencintai suaminya, kadang-kadang. Namun seringkali tidak. Toh, apa bedanya? Cinta sama sekali tidak dapat melakukan apapun untuk menahan sifat penonjolan diri yang merupakan sifat terbesar yang mendominasi dirinya.
“Bebas! Akhirnya tubuh dan jiwaku bebas!” bisik Nyonya Mallard.
Jophine berada di depan pintu kamar kakaknya, dan memohon agar diizinkan masuk. “Kakak, tolong buka pintunya. Kumohon, bukalah pintunya. Nanti kakak bisa sakit. Apa yang sedang kakak lakukan? Demi Tuhan, buka pintunya, kak!”
“Pergilah, Josephine. Aku tidak akan sakit.” Jelas tidak, karena Nyonya Mallard sedang meminum ramuan paling mujarab.
Khayalan tentang masa depannya yang indah semakin riuh dalam kepalanya. Dia membayangkan hari-hari yang akan dilalauinya dengan penuh bahagia. Dia memanjatkan doa singkat berharap hidupnya akan lama, agar dia dapat menikmati semua hari bahagia itu. Padahal baru saja kemarin dia berpikir bahwa dia akan menderita sepanjang hidupnya.
Akhirnya Nyonya Mallard berdiri dan membukakan pintu untuk menghilangkan rasa cemas adiknya. Matanya memancarkan kilatan kemenangan, dan tanpa disadari tubuhnya bergerak dan berjalan seperti Dewi Kemenangan. Dia meletakkan tangan di pinggang adiknya, dan turun bersama-sama. Richards masih berdiri menunggu mereka di lantai bawah.
Tiba-tiba, terdengar suara seperti seseorang yang berusaha membuka pintu depan. Setelah pintu terbuka, muncullah Brently Mallard dengan pakaiannya yang agak kumal karena telah menempuh perjalanan yang jauh. Dengan tenang dia masuk sambil membawa kantong jinjingan dan payungnya. Saat terjadi kecelakaan, ternyata dia sedang berada di tempat yang jauh karena dia telah lama turun dari kereta. Dia berdiri dengan heran melihat Josephine menangis meraung-raung, dan juga Richards yang bergerak dengan cepat membungkuk di dekat tubuh istrinya yang tergelak di lantai.
Tapi Richards tidak sempat menolongnya.
Ketika para dokter datang, mereka menjelaskan bahwa Nyonya Mallard meninggal karena serangan jantung. Pada akhirnya kegembiraanlah yang membunuh Nyonya Mallard.

Sumber :  https://cerpenterjemahan.wordpress.com/2015/07/23/the-story-of-an-hour/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar