Senin, 06 Februari 2017

The Last Leaf (Helai Terakhir)

The Last Leaf

[Helai Terakhir]

last leafJalanan di distrik barat Washington Square membentuk sudut dan lika-liku yang aneh. Para seniman telah memadati tempat-tempat di sekitar sana dan membentuk koloninya sendiri. Sue dan Johnsy juga ikut mengisi tempat tersebut dan membuka studio seni sendiri di salah satu gedung yang besar. ‘Johnsy’ merupakan nama panggilan Joanna. Dia berasal dari Maine, dan Sue berasal dari California. Pada bulan Mei lalu, mereka bertemu di salah satu acara jamuan makan untuk para seniman. Setelah berbincang agak lama, mereka menyadari bahwa mereka memiliki selera seni yang sama, sehingga muncullah ide untuk membuka studio gabungan.
Sekarang bulan November. Sebuah makhluk asing tak kasat mata, yang disebut Pneumonia oleh dokter setempat, menyentuh satu per satu orang di koloni dengan tangannya yang sedingin es. Di wilayah timur, makhluk buas ini melangkah dengan pasti dan menghantam para korban-korbannya dengan sangat keras.
Tuan Pneumonia bukanlah seorang pria tua yang berjiwa ksatria. Seorang wanita yang berperawakan kecil sekali pun juga ikut dimangsanya. Dan Johnsy juga bukanlah pengecualian. Dia kini terbaring tak berdaya di tempat tidurnya. Dia hanya dapat memandang dinding bata di depan gedung mereka melalui bingkai jendela.
Pagi harinya seorang dokter datang untuk memeriksa kondisi kesehatannya. Setelah selesai, dia berbicara dengan Sue di luar kamar agar tidak terdengar oleh Johnsy.
“Kesempatannya untuk sembuh mungkin hanya satu banding… sepuluh,” ujar sang dokter sambil mengguncangkan-guncangkan termometer. “Dan kesempatan itu hanya ada jika dia ingin tetap bertahan hidup. Inilah salah satu hal yang tidak masuk akal dalam dunia paramedis. Terkadang seorang pasien yang sekarat sekalipun dapat sembuh total jika dia tetap berpikir optimis. Dan temanmu sepertinya telah sangat yakin bahwa dia tidak akan sembuh. Apa ada hal yang dipikirkannya?”
“Dia… dia ingin melukis Bay of Naples.” Jawab Sue.
“Melukis? Ya ampun! Apa tidak ada hal lain yang bisa dipikirkannya? Lelaki misalnya?”
“Lelaki?” sahut Sue dengan suara seperti petikan melodi harpa yang fals. “Apakah lelaki pantas untuk di… tapi, tidak, dokter. Dia tidak memikirkan hal-hal seperti itu.”
“Sayang sekali kalau begitu,” ujar sang dokter. “Aku akan berusaha sebaik mungkin dan melakukan semua hal yang dapat dilakukan secara ilmiah. Namun, begitu pasienku mulai menghitung berapa jumlah orang yang akan datang ke acara pemakamannya, aku akan mengurangi 50 persen kekuatan penyembuhan medisku. Jika kau dapat membuatnya bertanya tentang gaya jaket baru untuk musim dingin, maka kesempatannya untuk sembuh dapat menjadi satu banding lima.”
Setelah dokter tersebut pergi, Sue masuk ke ruang lukisnya dan menangis tersedu-sedu sampai membuat kusut serbet buatan Jepang miliknya. Kemudian dia berjalan dengan langkah pasti menuju kamar Johnsy sambil bersiul-siul dan membawa papan lukis.
Johnsy sedang berbaring di tempat tidurnya dengan wajah menghadap ke jendela. Sue berhenti bersiul. Dia mengira Johnsy sedang tidur.
Dia menyusun papannya dan mulai melukis untuk ilustrasi cerita di sebuah majalah. Seniman muda harus menapaki jalan menuju seni dengan melukis gambar untuk cerita di majalah yang ditulis oleh penulis muda yang menapaki jalannya menuju kesusastraan.
Saat Sue sedang menggambar sketsa seorang koboy Idaho yang mengenakan celana kulit panjang dan kaca mata, dia mendengar suara-suara pelan. Dia pun segera beralih ke sisi ranjang.
Mata Johnsy terbuka lebar. Dia sedang menatap jendela dan menghitung—menghitung mundur.
“Dua belas,” ujarnya, dan sebentar kemudian “sebelas”, lalu “sepuluh”, “sembilan”, dan “tujuh” dan “delapan”, hampir secara bersamaan.
Sue mengikuti arah pandangannya. Apa yang sedang dihitungnya? Di depan sana hanya ada halaman kosong yang suram, dan dinding bata sebuah gedung yang berjarak dua puluh kaki dari sana. Tanaman Ivy yang sudah tua merambat menutupi setengah dinding bata. Akarnya sudah mulai membusuk. Napas dingin musim gugur mencopot daun-daun dari batangnya dan membuatnya mirip seperti kerangka.
“Ada apa, sayang?” Tanya Sue.
“Enam,” bisik Johnsy. “Sekarang jatuh lebih cepat. Tiga hari yang lalu jumlahnya hampir seratus, dan kepalaku sakit karena menghitungnya. Namun sekarang lebih mudah. Itu ada satu lagi yang jatuh. Sekarang sisa lima.”
“Lima apa, sayang? Beritahu Sudie.”
“Daun di tanaman ivy. Ketika daun terakhir gugur, aku juga harus ikut pergi. Aku sudah memutuskannya tiga hari yang lalu. Apa dokter tidak memberitahukannya padamu?”
“Oh, aku tidak pernah mendengar omong kosong seperti itu,” omel Sue dengan ekspresi mencibir yang berlebihan. “Apa hubungannya antara daun tanaman ivy dengan kesehatanmu? Dan bukankah kau dulu sangat menyukai tanaman itu, dasar anak nakal. Jangan berpikir hal-hal yang bodoh. Tadi dokter mengatakan kepadaku bahwa kesempatanmu untuk sembuh adalah—ini yang benar-benar dikatakannya—sepuluh banding satu! Sangat besar, bukan? Ayo, makanlah sup kaldu ini, jadi Sudie dapat kembali melukis, lalu menjualnya kepada editor, membelikan wine untuk anaknya yang sedang sakit, dan potongan daging pork untuk dirinya sendiri.”
“Kau tidak perlu membelikanku wine,” ujar Johnsy. Pandangannya tidak beralih dari jendela. “Satu lagi daun gugur. Tidak, aku sedang tidak selera makan. Sekarang sisa empat. Aku ingin melihat daun terakhir gugur sebelum malam tiba. Lalu aku akan pergi juga.”
“Johnsy, sayang,” sahut Sue sambil membungkukkan badannya ke dekat Johnsy, “maukah kau berjanji padaku untuk menutup matamu dan tidak menatap jendela sampai aku selesai melukis? Aku harus menyerahkan gambar tersebut besok. Aku butuh penerangan, kalau tidak aku harus menggambar bayangannya juga.”
“Bukankah kau bisa menggambar di ruang lain?” Tanya Johnsy dengan ketus.
“Aku ingin di sini menemanimu,” ujar Sue. “Lagipula, aku tidak mau kau terus-terusan menatap daun ivy bodoh itu.”
“Beritahu aku begitu kau sudah selesai,” kata Johnsy. Dia lalu menutup matanya dan berbaring. Kulitnya yang pucat membuatnya tampak seperti patung, “karena aku sangat ingin melihat daun terakhir gugur. Aku lelah menunggu. Aku lelah berpikir. Aku ingin melepas semua yang mengikatku, dan terbang berlabuh, seperti dedaunan malang nan renta itu.”
“Cobalah untuk tidur,” sahut Sue. “Aku harus memanggil Behrman untuk menjadi modelku. Aku hanya pergi barang sebentar. Jangan banyak bergerak sampai aku kembali.”
Behrman tua adalah seorang pelukis yang tinggal di lantai dasar di bawah mereka. Umurnya sudah lewat enam puluh. Dia memiliki janggut keriting ala Michael Angelo dan tubuh seperti imp. Behrman sama sekali tidak memiliki kemampuan seni. Empat tahun sudah dia menggores kuasnya tanpa hasil apapun. Dia selalu hampir melukis sebuah maha karya, namun tidak pernah memulainya. Selama beberapa tahun dia tidak melukis apapun. Namun terkadang dia memulas garis di papan iklan. Penghasilannya yang kecil didapatnya dengan menjadi model untuk seniman muda di koloni yang tidak dapat membayar jasa professional. Dia minum gin berlebihan, dan masih mengumbar tentang maha karya yang akan dibuatnya. Selebihnya, dia hanya pria lansia yang galak. Dia sering mencemooh kelembutan seseorang, dan menganggap dirinya sendiri sebagai pelindung khusus bagi dua seniman muda di studio di lantai atas.
Sue bertemu Behrman yang berbau tajam alkohol di sarangnya yang remang-remang di lantai bawah. Di sudut ruangan ada kanvas kosong yang sejak dua puluh lima tahun lalu telah siap untuk menerima goresan pertama maha karyanya. Dia menceritakan keadaan Johnsy, dan betapa takutnya dia jika Johnsy, yang serapuh daun, akan terbang pergi ketika pegangan kecilnya terhadap dunia ini semakin melemah.
Behrman tua, dengan matanya yang merah, meneriakkan kekesalannya terhadap pikiran bodoh tersebut.
“Astaga!” teriaknya. “Apa ada orang di dunia ini yang mati dengan bodoh hanya karena sehelai daun jatuh dari batang jahanamnya? Aku belum pernah mendengar hal semacam itu. Tidak, aku tidak mau berpose sebagai modelmu. Kenapa kau membiarkan pikiran bodoh semacam itu merasuki pikirannya? Ah, Miss Johnsy yang malang.”
“Dia sangat sekarat dan lemah,” ujar Sue, “dan demam membuat pikirannya tidak waras dan penuh dengan imajinasi gila. Baiklah, Tuan Behrman, kalau kau tidak mau berpose untukku, tidak apa-apa. Tapi kurasa kau memang orang tua yang kejam, cerewet, dan banyak tingkah.”
“Dasar wanita!” teriak Behrman. “Siapa bilang aku tidak mau berpose? Ayo, aku ikut denganmu. Selama setengah jam aku mencoba mengatakan bahwa aku siap untuk berpose. Hanya saja ini bukan tempat yang tepat. Suatu hari nanti aku akan melukis sebuah maha karya, dan kita semua akan pergi.”
Johnsy sedang tertidur pulas ketika mereka naik ke atas. Sue menurunkan tirai jendelanya, dan menyuruh Behrman masuk ke ruang yang lain. Di sana, mereka menatap tanaman ivy di luar jendela dengan cemas. Kemudian mereka saling menatap sepintas tanpa berbicara. Hujan bercampur salju yang sangat dingin turun dengan derasnya. Behrman, yang mengenakan kaus biru usangnya, duduk dan mulai berpose.
Ketika Sue terbangun keesokan pagi dari tidurnya yang hanya satu jam, dia melihat Johnsy dengan matanya yang telah terbuka lebar menatap bosan tirai jendela.
“Angkat tirainya. Aku mau melihat,” perintahnya dengan berbisik.
Dengan enggan Sue menurutinya.
Namun anehnya, setelah hujan deras dan angin kecang sepanjang malam, masih ada satu helai daun tanaman ivy menempel di dinding bata. Itu adalah daun ivy terakhir. Warnanya masih hijau gelap di dekat cabangnya. Dengan gagah berani daun tersebut menggantung dua puluh kaki dari permukaan.
“Itu daun yang terakhir,” ujar Johnsy. “Kupikir tidak akan ada lagi yang bertahan selama badai semalam. Seharusnya daun itu gugur hari ini, dan aku harus mati juga.”
“Sayang, sayang!” sahut Sue sambil menempelkan wajahnya yang telah terlihat letih di atas bantal, “pikirkan aku, kalau kau tidak ingin memikirkan dirimu sendiri. Apa yang bisa kulakukan tanpamu?”
Namun Johnsy tidak menjawab. Kesepian yang paling mendalam di dunia ini adalah ketika sebuah jiwa siap untuk berangkat pergi ke perjalanan misteriusnya yang sangat jauh. Keinginan itu akan semakin merasukinya saat satu per satu ikatannya pada pertemanan dan dunia ini mulai melonggar.
Waktu pun berlalu, dan bahkan setelah menjelang senja, mereka masih dapat melihat daun ivy itu menggantung di batangnya yang menempel di dinding. Dan kemudian, datanglah lagi angin utara, bersamaan dengan hujan yang menderu di jendela dan merembes di dinding kamar mereka.
Ketika hari cukup terang, Johnsy dengan tidak sabaran memerintahkan Sue untuk mengangkat tirainya.
Daun ivy tersebut masih menggantung di sana.
Johnsy berbaring cukup lama memandangnya. Dan kemudian dia memanggil Sue yang sedang mengaduk kaldu ayamnya di atas kompor gas.
“Aku sudah bersikap buruk, Sudie,” ujar Johnsy. “Sesuatu membuat daun terakhir itu bertahan di sana untuk menunjukkan padaku betapa kejinya aku. Menginginkan kematian merupakan sebuah dosa. Tolong bawakan aku semangkuk sup kaldu sekarang, dan susu dengan sedikit wine, dan… tidak, ambilkan cermin dulu, dan tumpuk bantal di sekitarku, aku ingin duduk sambil melihat kau memasak.”
Dan satu jam kemudian dia berkata, “Sudie, suatu hari kuharap aku dapat melukis Bay of Naples.”
Dokter datang siang harinya, dan Sue mengikutinya keluar saat dokter itu hendak pergi.
“Kesempatannya besar,” kata sang dokter sambil menjabat tangan Sue yang kurus. “Dengan perawatan yang baik, dia akan sembuh. Dan sekarang aku harus menangani pasienku di bawah. Namanya Behrman—kalau tidak salah dia seorang seniman. Pneumonia juga. Dia orang tua yang sudah renta, sakitnya sangat akut. Tidak ada harapan untuknya, tapi dia pergi ke rumah sakit hari ini agar mendapat perawatan yang lebih baik.”
Keesokan harinya dokter mengatakan kepada Sue, “Kondisinya sudah tidak lagi membahayakan. Sekarang berikan dia nutrisi dan perawatan yang cukup—itu saja.”
Siang hari itu Sue masuk ke kamar Johnsy. Dia sedang berbaring dan merajut scarf yang berwarna biru terang dengan riang. Sue melingkarkan satu tangannya di pundak Johnsy.
“Ada yang ingin kukatakan padamu, sayang,” ujarnya. “Tuan Behrman meninggal karena pneumonia di rumah sakit hari ini. Dia jatuh sakit selama dua hari. Petugas kebersihan menemukannya berbaring tak berdaya di pagi hari pertama di kamarnya. Sepatu dan bajunya basah kuyup dan sedingin es. Mereka tak dapat membayangkan di mana dia saat hujan badai malam itu. Kemudian mereka menemukan lentera yang masih menyala, tangga yang telah dipindahkan dari posisi semula, kuas yang berserakan, dan palet yang telah dicampurkan warna hijau dan kuning, dan—lihatlah ke luar jendela, sayang, lihat daun ivy terakhir itu. Apakah kau tidak heran ketika daun itu tidak pernah bergoyang sedikitpun ketika angin berhembus? Ah, sayang, itulah maha karya Behrman—dia melukisnya di malam saat daun terakhir gugur.”

Sumber :  https://cerpenterjemahan.wordpress.com/2015/07/23/the-last-leaf/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar