The Last Leaf
[Helai Terakhir]
Jalanan
di distrik barat Washington Square membentuk sudut dan lika-liku yang
aneh. Para seniman telah memadati tempat-tempat di sekitar sana dan
membentuk koloninya sendiri. Sue dan Johnsy juga ikut mengisi tempat
tersebut dan membuka studio seni sendiri di salah satu gedung yang
besar. ‘Johnsy’ merupakan nama panggilan Joanna. Dia berasal dari Maine,
dan Sue berasal dari California. Pada bulan Mei lalu, mereka bertemu di
salah satu acara jamuan makan untuk para seniman. Setelah berbincang
agak lama, mereka menyadari bahwa mereka memiliki selera seni yang sama,
sehingga muncullah ide untuk membuka studio gabungan.
Sekarang bulan November. Sebuah makhluk
asing tak kasat mata, yang disebut Pneumonia oleh dokter setempat,
menyentuh satu per satu orang di koloni dengan tangannya yang sedingin
es. Di wilayah timur, makhluk buas ini melangkah dengan pasti dan
menghantam para korban-korbannya dengan sangat keras.
Tuan Pneumonia bukanlah seorang pria tua
yang berjiwa ksatria. Seorang wanita yang berperawakan kecil sekali pun
juga ikut dimangsanya. Dan Johnsy juga bukanlah pengecualian. Dia kini
terbaring tak berdaya di tempat tidurnya. Dia hanya dapat memandang
dinding bata di depan gedung mereka melalui bingkai jendela.
Pagi harinya seorang dokter datang untuk
memeriksa kondisi kesehatannya. Setelah selesai, dia berbicara dengan
Sue di luar kamar agar tidak terdengar oleh Johnsy.
“Kesempatannya untuk sembuh mungkin hanya
satu banding… sepuluh,” ujar sang dokter sambil
mengguncangkan-guncangkan termometer. “Dan kesempatan itu hanya ada jika
dia ingin tetap bertahan hidup. Inilah salah satu hal yang tidak masuk
akal dalam dunia paramedis. Terkadang seorang pasien yang sekarat
sekalipun dapat sembuh total jika dia tetap berpikir optimis. Dan
temanmu sepertinya telah sangat yakin bahwa dia tidak akan sembuh. Apa
ada hal yang dipikirkannya?”
“Dia… dia ingin melukis Bay of Naples.” Jawab Sue.
“Melukis? Ya ampun! Apa tidak ada hal lain yang bisa dipikirkannya? Lelaki misalnya?”
“Lelaki?” sahut Sue dengan suara seperti
petikan melodi harpa yang fals. “Apakah lelaki pantas untuk di… tapi,
tidak, dokter. Dia tidak memikirkan hal-hal seperti itu.”
“Sayang sekali kalau begitu,” ujar sang
dokter. “Aku akan berusaha sebaik mungkin dan melakukan semua hal yang
dapat dilakukan secara ilmiah. Namun, begitu pasienku mulai menghitung
berapa jumlah orang yang akan datang ke acara pemakamannya, aku akan
mengurangi 50 persen kekuatan penyembuhan medisku. Jika kau dapat
membuatnya bertanya tentang gaya jaket baru untuk musim dingin, maka
kesempatannya untuk sembuh dapat menjadi satu banding lima.”
Setelah dokter tersebut pergi, Sue masuk
ke ruang lukisnya dan menangis tersedu-sedu sampai membuat kusut serbet
buatan Jepang miliknya. Kemudian dia berjalan dengan langkah pasti
menuju kamar Johnsy sambil bersiul-siul dan membawa papan lukis.
Johnsy sedang berbaring di tempat
tidurnya dengan wajah menghadap ke jendela. Sue berhenti bersiul. Dia
mengira Johnsy sedang tidur.
Dia menyusun papannya dan mulai melukis
untuk ilustrasi cerita di sebuah majalah. Seniman muda harus menapaki
jalan menuju seni dengan melukis gambar untuk cerita di majalah yang
ditulis oleh penulis muda yang menapaki jalannya menuju kesusastraan.
Saat Sue sedang menggambar sketsa seorang
koboy Idaho yang mengenakan celana kulit panjang dan kaca mata, dia
mendengar suara-suara pelan. Dia pun segera beralih ke sisi ranjang.
Mata Johnsy terbuka lebar. Dia sedang menatap jendela dan menghitung—menghitung mundur.
“Dua belas,” ujarnya, dan sebentar
kemudian “sebelas”, lalu “sepuluh”, “sembilan”, dan “tujuh” dan
“delapan”, hampir secara bersamaan.
Sue mengikuti arah pandangannya. Apa yang
sedang dihitungnya? Di depan sana hanya ada halaman kosong yang suram,
dan dinding bata sebuah gedung yang berjarak dua puluh kaki dari sana.
Tanaman Ivy yang sudah tua merambat menutupi setengah dinding bata.
Akarnya sudah mulai membusuk. Napas dingin musim gugur mencopot
daun-daun dari batangnya dan membuatnya mirip seperti kerangka.
“Ada apa, sayang?” Tanya Sue.
“Enam,” bisik Johnsy. “Sekarang jatuh
lebih cepat. Tiga hari yang lalu jumlahnya hampir seratus, dan kepalaku
sakit karena menghitungnya. Namun sekarang lebih mudah. Itu ada satu
lagi yang jatuh. Sekarang sisa lima.”
“Lima apa, sayang? Beritahu Sudie.”
“Daun di tanaman ivy. Ketika daun
terakhir gugur, aku juga harus ikut pergi. Aku sudah memutuskannya tiga
hari yang lalu. Apa dokter tidak memberitahukannya padamu?”
“Oh, aku tidak pernah mendengar omong
kosong seperti itu,” omel Sue dengan ekspresi mencibir yang berlebihan.
“Apa hubungannya antara daun tanaman ivy dengan kesehatanmu? Dan
bukankah kau dulu sangat menyukai tanaman itu, dasar anak nakal. Jangan
berpikir hal-hal yang bodoh. Tadi dokter mengatakan kepadaku bahwa
kesempatanmu untuk sembuh adalah—ini yang benar-benar
dikatakannya—sepuluh banding satu! Sangat besar, bukan? Ayo, makanlah
sup kaldu ini, jadi Sudie dapat kembali melukis, lalu menjualnya kepada
editor, membelikan wine untuk anaknya yang sedang sakit, dan potongan
daging pork untuk dirinya sendiri.”
“Kau tidak perlu membelikanku wine,” ujar
Johnsy. Pandangannya tidak beralih dari jendela. “Satu lagi daun gugur.
Tidak, aku sedang tidak selera makan. Sekarang sisa empat. Aku ingin
melihat daun terakhir gugur sebelum malam tiba. Lalu aku akan pergi
juga.”
“Johnsy, sayang,” sahut Sue sambil
membungkukkan badannya ke dekat Johnsy, “maukah kau berjanji padaku
untuk menutup matamu dan tidak menatap jendela sampai aku selesai
melukis? Aku harus menyerahkan gambar tersebut besok. Aku butuh
penerangan, kalau tidak aku harus menggambar bayangannya juga.”
“Bukankah kau bisa menggambar di ruang lain?” Tanya Johnsy dengan ketus.
“Aku ingin di sini menemanimu,” ujar Sue. “Lagipula, aku tidak mau kau terus-terusan menatap daun ivy bodoh itu.”
“Beritahu aku begitu kau sudah selesai,”
kata Johnsy. Dia lalu menutup matanya dan berbaring. Kulitnya yang pucat
membuatnya tampak seperti patung, “karena aku sangat ingin melihat daun
terakhir gugur. Aku lelah menunggu. Aku lelah berpikir. Aku ingin
melepas semua yang mengikatku, dan terbang berlabuh, seperti dedaunan
malang nan renta itu.”
“Cobalah untuk tidur,” sahut Sue. “Aku
harus memanggil Behrman untuk menjadi modelku. Aku hanya pergi barang
sebentar. Jangan banyak bergerak sampai aku kembali.”
Behrman tua adalah seorang pelukis yang
tinggal di lantai dasar di bawah mereka. Umurnya sudah lewat enam puluh.
Dia memiliki janggut keriting ala Michael Angelo dan tubuh seperti imp.
Behrman sama sekali tidak memiliki kemampuan seni. Empat tahun sudah
dia menggores kuasnya tanpa hasil apapun. Dia selalu hampir melukis
sebuah maha karya, namun tidak pernah memulainya. Selama beberapa tahun
dia tidak melukis apapun. Namun terkadang dia memulas garis di papan
iklan. Penghasilannya yang kecil didapatnya dengan menjadi model untuk
seniman muda di koloni yang tidak dapat membayar jasa professional. Dia
minum gin berlebihan, dan masih mengumbar tentang maha karya yang akan
dibuatnya. Selebihnya, dia hanya pria lansia yang galak. Dia sering
mencemooh kelembutan seseorang, dan menganggap dirinya sendiri sebagai
pelindung khusus bagi dua seniman muda di studio di lantai atas.
Sue bertemu Behrman yang berbau tajam
alkohol di sarangnya yang remang-remang di lantai bawah. Di sudut
ruangan ada kanvas kosong yang sejak dua puluh lima tahun lalu telah
siap untuk menerima goresan pertama maha karyanya. Dia menceritakan
keadaan Johnsy, dan betapa takutnya dia jika Johnsy, yang serapuh daun,
akan terbang pergi ketika pegangan kecilnya terhadap dunia ini semakin
melemah.
Behrman tua, dengan matanya yang merah, meneriakkan kekesalannya terhadap pikiran bodoh tersebut.
“Astaga!” teriaknya. “Apa ada orang di
dunia ini yang mati dengan bodoh hanya karena sehelai daun jatuh dari
batang jahanamnya? Aku belum pernah mendengar hal semacam itu. Tidak,
aku tidak mau berpose sebagai modelmu. Kenapa kau membiarkan pikiran
bodoh semacam itu merasuki pikirannya? Ah, Miss Johnsy yang malang.”
“Dia sangat sekarat dan lemah,” ujar Sue,
“dan demam membuat pikirannya tidak waras dan penuh dengan imajinasi
gila. Baiklah, Tuan Behrman, kalau kau tidak mau berpose untukku, tidak
apa-apa. Tapi kurasa kau memang orang tua yang kejam, cerewet, dan
banyak tingkah.”
“Dasar wanita!” teriak Behrman. “Siapa
bilang aku tidak mau berpose? Ayo, aku ikut denganmu. Selama setengah
jam aku mencoba mengatakan bahwa aku siap untuk berpose. Hanya saja ini
bukan tempat yang tepat. Suatu hari nanti aku akan melukis sebuah maha
karya, dan kita semua akan pergi.”
Johnsy sedang tertidur pulas ketika
mereka naik ke atas. Sue menurunkan tirai jendelanya, dan menyuruh
Behrman masuk ke ruang yang lain. Di sana, mereka menatap tanaman ivy di
luar jendela dengan cemas. Kemudian mereka saling menatap sepintas
tanpa berbicara. Hujan bercampur salju yang sangat dingin turun dengan
derasnya. Behrman, yang mengenakan kaus biru usangnya, duduk dan mulai
berpose.
Ketika Sue terbangun keesokan pagi dari
tidurnya yang hanya satu jam, dia melihat Johnsy dengan matanya yang
telah terbuka lebar menatap bosan tirai jendela.
“Angkat tirainya. Aku mau melihat,” perintahnya dengan berbisik.
Dengan enggan Sue menurutinya.
Namun anehnya, setelah hujan deras dan
angin kecang sepanjang malam, masih ada satu helai daun tanaman ivy
menempel di dinding bata. Itu adalah daun ivy terakhir. Warnanya masih
hijau gelap di dekat cabangnya. Dengan gagah berani daun tersebut
menggantung dua puluh kaki dari permukaan.
“Itu daun yang terakhir,” ujar Johnsy.
“Kupikir tidak akan ada lagi yang bertahan selama badai semalam.
Seharusnya daun itu gugur hari ini, dan aku harus mati juga.”
“Sayang, sayang!” sahut Sue sambil
menempelkan wajahnya yang telah terlihat letih di atas bantal, “pikirkan
aku, kalau kau tidak ingin memikirkan dirimu sendiri. Apa yang bisa
kulakukan tanpamu?”
Namun Johnsy tidak menjawab. Kesepian
yang paling mendalam di dunia ini adalah ketika sebuah jiwa siap untuk
berangkat pergi ke perjalanan misteriusnya yang sangat jauh. Keinginan
itu akan semakin merasukinya saat satu per satu ikatannya pada
pertemanan dan dunia ini mulai melonggar.
Waktu pun berlalu, dan bahkan setelah
menjelang senja, mereka masih dapat melihat daun ivy itu menggantung di
batangnya yang menempel di dinding. Dan kemudian, datanglah lagi angin
utara, bersamaan dengan hujan yang menderu di jendela dan merembes di
dinding kamar mereka.
Ketika hari cukup terang, Johnsy dengan tidak sabaran memerintahkan Sue untuk mengangkat tirainya.
Daun ivy tersebut masih menggantung di sana.
Johnsy berbaring cukup lama memandangnya. Dan kemudian dia memanggil Sue yang sedang mengaduk kaldu ayamnya di atas kompor gas.
“Aku sudah bersikap buruk, Sudie,” ujar
Johnsy. “Sesuatu membuat daun terakhir itu bertahan di sana untuk
menunjukkan padaku betapa kejinya aku. Menginginkan kematian merupakan
sebuah dosa. Tolong bawakan aku semangkuk sup kaldu sekarang, dan susu
dengan sedikit wine, dan… tidak, ambilkan cermin dulu, dan tumpuk bantal
di sekitarku, aku ingin duduk sambil melihat kau memasak.”
Dan satu jam kemudian dia berkata, “Sudie, suatu hari kuharap aku dapat melukis Bay of Naples.”
Dokter datang siang harinya, dan Sue mengikutinya keluar saat dokter itu hendak pergi.
“Kesempatannya besar,” kata sang dokter
sambil menjabat tangan Sue yang kurus. “Dengan perawatan yang baik, dia
akan sembuh. Dan sekarang aku harus menangani pasienku di bawah. Namanya
Behrman—kalau tidak salah dia seorang seniman. Pneumonia juga. Dia
orang tua yang sudah renta, sakitnya sangat akut. Tidak ada harapan
untuknya, tapi dia pergi ke rumah sakit hari ini agar mendapat perawatan
yang lebih baik.”
Keesokan harinya dokter mengatakan kepada
Sue, “Kondisinya sudah tidak lagi membahayakan. Sekarang berikan dia
nutrisi dan perawatan yang cukup—itu saja.”
Siang hari itu Sue masuk ke kamar Johnsy.
Dia sedang berbaring dan merajut scarf yang berwarna biru terang dengan
riang. Sue melingkarkan satu tangannya di pundak Johnsy.
“Ada yang ingin kukatakan padamu,
sayang,” ujarnya. “Tuan Behrman meninggal karena pneumonia di rumah
sakit hari ini. Dia jatuh sakit selama dua hari. Petugas kebersihan
menemukannya berbaring tak berdaya di pagi hari pertama di kamarnya.
Sepatu dan bajunya basah kuyup dan sedingin es. Mereka tak dapat
membayangkan di mana dia saat hujan badai malam itu. Kemudian mereka
menemukan lentera yang masih menyala, tangga yang telah dipindahkan dari
posisi semula, kuas yang berserakan, dan palet yang telah dicampurkan
warna hijau dan kuning, dan—lihatlah ke luar jendela, sayang, lihat daun
ivy terakhir itu. Apakah kau tidak heran ketika daun itu tidak pernah
bergoyang sedikitpun ketika angin berhembus? Ah, sayang, itulah maha
karya Behrman—dia melukisnya di malam saat daun terakhir gugur.”
Sumber : https://cerpenterjemahan.wordpress.com/2015/07/23/the-last-leaf/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar