Kutukan Sepasang Sepatu Merah
(Sebuah dongeng dari H.C.Andersen)PS: Baru kali ini coba menerjemahkan cerita, mungkin masih sangat banyak kekurangan. Dan untuk beberapa kalimat memang tidak terlalu sama dengan aslinya, karena sengaja saya sesuaikan pemilihan katanya atau ada beberapa potong frase yang saya modifikasi, supaya lebih mudah dipahami dalam versi bahasa Indonesia, dengan tanpa mengubah alur dan isi cerita.Hiduplah seorang gadis kecil yang sangat cantik dan manis, di setiap musim panas ia terpaksa harus berlari dengan kaki telanjang, dia sangat miskin. Dan di setiap musim dingin ia mengenakan sepatu kayu yang kebesaran. Punggung telapak kakinya yang mungil memerah, itu tampak menyedihkan.
Semoga berkenan membacanya, terima kasih. ^_^
Di tengah desa ada seorang wanita tua pembuat sepatu, ia duduk sambil menjahit sepatu, seindah yang ia bisa. Ia membuat sepasang sepatu kecil yang terbuat dari potongan kain berwarna merah. Sepasang sepatu itu tidak terlalu cantik, namun ia menjahitnya dengan sepenuh hati. Sepasang sepatu yang akan diberikan kepada gadis kecilnya. Gadis kecil itu bernama Karen.
**
Pada hari di mana ibunya dimakamkan, Karen mengenakan sepasang sepatu berwarna merah untuk pertama kalinya. Sepasang sepatu berwarna merah mungkin tak pantas digunakan pada suasana berkabung namun ia tak punya pilihan lain. Tanpa mengenakan kaus kaki ia berjalan mengikuti iringan peti mati yang terbuat dari anyaman jerami.
Dalam perjalanan seusai pemakaman itu, sebuah kereta yang megah melaju dan seorang wanita tua duduk di dalamnya. Sang Ratu memandangi si gadis kecil dan nalurinya merasa kasihan lalu ia bicara pada kusirnya, “Berhenti di sini, dan bawa gadis kecil itu ke sini. Aku ingin mengajaknya tinggal denganku.”
Karen percaya semua yang terjadi pada dirinya berkat sepatu merahnya. Sayangnya, Sang Ratu merasa sepasang sepatu itu sangat buruk dan Sang Ratu tak menyukainya, lalu ia membakarnya. Karen diberikan pakaian-pakaian bersih dan cantik, ia juga belajar membaca dan menjahit. Orang-orang di kerajaan menyukai gadis kecil yang manis ini, sebuah cermin pun mengatakan. “Kau lebih indah, kau lebih cantik dari apa pun yang kulihat.” Namun Karen tetap merindukan sepatunya.
Suatu hari Sang Ratu pergi dengan kereta kudanya ke suatu tempat. Ia kembali bersama seorang anak gadis yang sebaya dengan Karen. Anak gadis itu adalah seorang putri, yang tinggal di kerajaan lain. Ketika ia sampai seluruh penghuni kerajaan menghambur memenuhi kastil untuk memberi penghormatan, Karen juga berada di sana. Sang putri berdiri di jendela mengenakan gaun putih yang lembut, ia menatap ke luar dengan mata mungilnya. Ia sedang tidak berdiri di kereta yang megah ataupun mengenakan mahkota emas, namun ia mengenakan sepasang sepatu mewah yang terbuat dari kulit domba. Sepasang sepatu itu tampak lebih cantik dari sepatu Karen yang dibuat Wanita Tua Pembuat Sepatu. Tetapi bagi Karen di dunia ini tak ada yang bisa dibandingkan dengan keindahan sepatu merahnya.
**
Karen tiba pada saat pembaptisan. Ia mendapat pakaian baru dan sepatu baru. Karen datang ke rumah seorang pembuat sepatu bangsawan di kota, mengukur kaki mungilnya untuk dijahitkan sebuah sepatu baru. Dinding ruangan rumah si pembuat sepatu dihiasi dengan cermin-cermin besar, dan rak sepatu memajang sepatu-sepatu cantik dan mewah. Semua terlihat menarik. Namun seiring usianya Sang Ratu tak lagi bisa melihat dengan jelas, ia sudah rabun, keindahan corak dan warna sepatu-sepatu itu pun luput dari penglihatannya. Di antara deretan sepatu di dalam rak terdapat sepasang sepatu berwarna merah, coraknya seperti sepatu milik Sang Putri tapi sepatu itu tampak sudah usang. Betapa cantiknya sepasang sepatu itu! Si pembuat sepatu juga bilang kalau sepasang sepatu itu dibuat untuk seorang anak bangsawan, namun tidak pernah ada yang memakainya. Lagi-lagi Karen teringat dengan sepasang sepatu merahnya.
“Sepasang sepatu itu pasti terbuat dari kulit terbaik!” ujar Sang Ratu. “Sepasang sepatu itu tampak bersinar!” tambahnya lagi.
“Ya, sepasang sepatu itu bersinar!” Ujar Karen, dan ia mencoba mengenakannya, dan membelinya. Sang Ratu tak mengetahui apa pun tentang warna sepatunya yang merah, jika saja ia tahu pasti ia takkan mengizinkan Karen untuk membawa sepatu merah itu bersamanya.
Semua orang memandang pada kaki-kaki mungil Karen yang berbalut sepatu merah, dan ketika ia melangkah di altar gereja, ia merasa seperti sedang melewati sebuah area pemakaman. Sunyi. Tampak seorang pendeta beserta istrinya yang mengenakan kain ruff kaku di lehernya dan gaun panjang berwarna hitam, mata mereka terpaku pada sepasang sepatu merah Karen. Ketika tangan pendeta itu berada di atas kepalanya, dan membacakan kalimat-kalimat pembaptisan, berupa perjanjian pada Tuhan dan mengenai kewajibannya sebagai seorang Kristiani dewasa. Terdengar kumandang suara organ yang khidmat dan suara anak-anak kecil yang manis mengalunkan lagu-lagu. Tapi pikiran Karen hanya terpusat pada sepatu merahnya.
Di suatu sore Sang Ratu mendengar dari seseorang bahwa sepatu yang dikenakan Karen pada acara pembaptisan adalah berwarna merah. Sang Ratu murka karena kejadian itu, dia nyaris tak mempercayai bahwa hal itu bisa terjadi. Akhirnya Sang Ratu memerintahkan Karen untuk tidak lagi mengenakan sepatu merahnya, dan Karen hanya boleh mengenakan sepatu berwarna hitam ketika ke gereja, hingga kapan pun bahkan setelah ia menjadi tua sekalipun!
**
Minggu selanjutnya pada sebuah sakramen, Karen bimbang, ia memandang sepasang sepatu hitam dan merah bergantian. Dan ia memilih untuk tetap mengenakan sepasang sepatu berwarna merah.
Matahari bersinar sangat cerah, Karen dan Sang Ratu berjalan bersama sepanjang jalan yang berdebu dan ditumbuhi tanaman jagung.
Di depan gerbang gereja berdiri seorang prajurit tua yang membawa tongkat, berjenggot panjang yang sudah bercampur uban. Si prajurit tua membungkuk dan menundukkan kepalanya ke arah tanah, ia bertanya pada Sang Ratu apakah mungkin ada debu di sepatu Karen. Dan Karen mengulurkan kaki mungilnya.
“Oh lihatnya, betapa cantiknya sepasang sepatu dansa ini!” Ujar si prajurit tua. “Kau pasti terlihat cantik ketika menari.” sang prajurit menyentuh ujung sepatu Karen.
Namun Sang Ratu tampak tak senang, lalu memberi sedikit uang sedekah kepada prajurit tua itu agar tidak mengganggu lagi. Lalu Sang Ratu dan Karen melanjutkan langkahnya memasuki gereja.
Semua orang di Gereja melihat ke arah sepatu merah yang Karen kenakan. Karen berlutut di depan altar, ia menautkan jemari-jemari di dekat mulutnya. Namun dalam kepala Karen tak ada hal lain selain sepasang sepatu merahnya yang terus berputar di dalam pikirannya. Hingga ia lupa menyanyikan puji-pujian, dan ia lupa untuk berdoa, “Kepada Bapak di Surga…”
Kini semua orang meninggalkan gereja dan Sang Ratu masuk ke dalam kereta megahnya. Karen mengangkat kakinya untuk kemudian ikut masuk ke dalam kereta. Seketika itu seorang prajurit tua berkata, “Oh, lihatlah betapa cantiknya sepasang sepatu dansa ini!”
Karen tak bisa menari, namun ketika ia memulai menggerakan satu-dua kaki-kakinya untuk menari, itu tak bisa dihentikan, kaki dan seluruh tubuhnya menari dengan indah. Seolah ada keajaiban di balik sepatunya. Karen menari di sisi jalan dekat gereja, ia tidak bisa berhenti! Kusir kereta terpaksa keluar dan berlari mengejarnya, lalu menangkap Karen untuk menghentikannya yang terus menari. Kusir kereta itu menggendong Karen untuk masuk ke kereta, namun kakinya tetap menari dengan gemulai, hingga kakinya menginjak kaki Sang Ratu. Karen melepaskan sepatunya, barulah ia bisa duduk di kursi kereta dengan tenang.
Sepasang sepatu merah ajaib itu disimpan di dalam lemari yang terkunci dalam kamarnya, namun Karen tak bisa menahan diri untuk tidak melihat sepasang sepatu itu.
**
Kini Sang Ratu jatuh sakit, dan kemungkinan ia takkan bisa pulih seperti sediakala. Ia harus dirawat, ia hanya berbaring di kamarnya, tidak ada yang lebih ia inginkan untuk merawatnya selain Karen. Ada sebuah pesta dansa di kota, dan Karen diundang untuk menghadirinya. Ia menghawatirkan Sang Ratu yang kemungkinan tak lagi bisa pulih, namun ia teringat kepada sepasang sepatu merahnya. Dia berpikir akan sangat berdosa jika meninggalkan Sang Ratu sekarang. Di sela rasa bimbangnya, Karen mengambil sepatunya. Meski bagaimana pun ia sangat ingin menghadiri pesta dansa itu dan menari di sana sambil mengenakan sepatu merah.
Pada acara pesta dansa di kota, Karen mulai menari. Namun ketika ia akan menari ke arah kanan, sepatu itu malah bergerak ke kiri, dan ketika ia ingin menari sambil menaiki tangga di ruangan itu, sepatu itu malah membuatnya menari menuruni tangga, ke arah luar, ke jalan, keluar dari gerbang kota. Dia menari dan terpaksa menari mengikuti sepatunya hingga ke dalam hutan yang suram.
Kemudian, tiba-tiba ada yang tampak bersinar di antara pepohonan, ia sedikit tenang ketika melihat rembulan. Tetapi dari balik pepohonan tampak sebuah wajah, seorang prajurit tua berjenggot merah, ia duduk di sana, menundukan kepalanya, dan ia berkata, “Oh, lihatlah betapa cantiknya sepasang sepatu dansa ini!”
Karen ketakutan, ia ingin melepaskan dan melemparkan sepatu merahnya, namun sepasang sepatu itu melekat kuat di kakinya. Ia menarik kuat-kuat kaus kakinya, namun sepatu itu tetap melekat, seperti menjadi satu dengan kakinya. Ia menari dengan terpaksa, terus menari, hingga ke ladang dan padang rumput, ketika langit menurunkan hujan atau pun ketika matahari bersinar, sejak malam hingga pagi hari. Hingga datang suatu malam yang terasa sangat menakutkan.
Dia menari terus, hingga sampai di sebuah gereja. Ia berpikir tentang orang mati yang tidak perlu menari, mereka pasti mempunyai sesuatu yang lebih penting untuk dilakukan daripada menari. Ia berharap mendapat sebuah tempat yang damai seperti di pemakaman orang-orang miskin, di mana ditumbuhi bunga-bunga tansy. Namun bagi Karen sekarang tidaklah ada tempat damai dan waktu yang tenang. Ketika ia menari menuju ke arah pintu gereja yang terbuka, ia melihat seorang malaikat berdiri di sana. Sang malaikat mengenakan pakaian jubah putih, sepasang sayap di bahunya sangat lebar dan besar hingga menyentuh bumi, malaikat itu memiliki wajah yang sungguh menyeramkan, dan di salah satu tangannya memegang sebuah pedang yang berkilauan.
“Teruslah kau menari!” ucap malaikat itu. “Menari dengan sepasang sepatu merahmu hingga wajahmu menjadi pucat dan beku!” Hingga kulitmu mengerut dan tinggal kerangka! Menarilah engkau dari satu pintu ke pintu lainnya, ke tempat anak-anak keras kepala itu tinggal. Ketukkan sepatumu keras-keras dalam tarianmu, mungkin mereka akan mendengar suaramu yang gemetar! Teruslah kau menari!”
“Tolonglah aku!” Karen menangis. Namun ia tak mendengar sang malaikat menjawab apa pun. Sepatu itu masih menari membawa Karen ke arah luar pintu gereja, terus ke ladang, melewati jalan dan jembatan, dan dia tetap harus menari.
**
Di suatu pagi ia menari melewati sebuah pintu yang sangat ia kenal. Dalam ruangan di balik pintu itu terdengar lagu puji-pujian, sebuah peti mati terhias bunga. Ketika Karen menatap wajah yang berada dalam peti mati, ia kini tahu bahwa Sang Ratu telah tiada. Karen merasa tak lagi memiliki siapa pun, semua orang yang ia punya meninggalkannya, dan dia telah dikutuk oleh Tuhan dan malaikat.
Ia menari, terus menari, dipaksa untuk tetap menari sepanjang malam yang suram. Sepatu itu memaksanya menari di atas tumpukan batu, kulitnya tergores batu dan berdarah. Dia menari melewati padang rumput hingga tiba di sebuah rumah mungil. Di sana, ia tahu, ada seorang algojo yang siap membunuh siapa pun. Karen mengetuk jendela rumah itu dengan jari-jarinya, sambil berkata, “Kelurlah! Keluarlah! Aku tak bisa masuk ke rumahmu, sepasang sepatu di kakiku memaksaku untuk terus menari!”
Dan sang algojo itu bicara, “Tidakkah kau mengetahui siapa diriku? Aku suka memukul kepala orang-orang jahat, dan sekarang aku mendengar kapakku mendesis!”
“Jangan pukul kepalaku!” ucap Karen, “Jika begitu aku tak bisa bertobat dari dosa-dosaku! Namun pukul di kakiku yang mengenakan sepatu merah ini!”
Karen mengakui seluruh dosa-dosanya, dan sang algojo memukul di bagian kakinya yang mengenakan sepatu merah. Sepatu itu bergerak sambil masih menari, menjauhi kaki mungil Karen, menjauh, sepatu itu menari ke arah ladang dan masuk ke dalam hutan.
Laki-laki algojo itu membuat sebuah sepatu kayu untuk Karen, dan sebuah tongkat penopang. Karena ia agak kesulitan berjalan akibat kakinya yang terkena pukulan. Laki-laki itu juga menyanyikan sebuah lagu doa untuk kebaikannya. Karen mencium tangan sang laki-laki yang tadi digunakan untuk memegang kapak, ia pergi, kembali ke padang rumput.
“Kini, aku sudah cukup menderita karena sepasang sepatu merah itu!” Ucap Karen. “Kini aku akan pergi ke gereja mungkin masih ada seseorang yang peduli padaku.” Karen bergegas menuju gereja, namun ketika ia sudah berada di dekat pintu gereja, ia melihat sepasang sepatu merah itu menari di depannya. Ia ketakutan dan berjalan ke arah berlawanan. Sepanjang minggu Karen tak pernah merasa bahagia, ia hanya terus-terusan mengeluarkan air mata pahit. Tetapi ketika hari Minggu tiba, ia berkata, “Baiklah, sekarang aku sudah cukup menderita dan berusaha keras! Aku sangat yakin, aku sudah layak berada di gereja seperti orang-orang yang lainnya, dan mendapatkan ketenangan kembali.”
Dengan penuh semangat ia pun berangkat, tapi ia tak bisa lebih dekat ke arah pintu gereja karena ia melihat sepasang sepatu merah itu menari-nari di sana. Ia sangat ketakutan, ia berbalik, dan merintih menyesali dosa-dosanya dalam hati.
Ia mendatangi seorang pendeta, dan memohon sebuah perlindungan. Ia berjanji akan menjadi anak yang rajin, melakukan apa pun semampunya, ia takkan meminta upah. Ia hanya ingin tinggal bersama pendeta itu di rumahnya, bersama orang-orang baik, untuk mendapat kedamaian. Istri sang pendeta tampak tak tega, dan menyetujui supaya Karen tinggal bersamanya. Istri sang pendeta sangat murah hati dan bijaksana. Karen duduk dan mendengarkan ketika sang pendeta membacakan Al-Kitab di suatu malam. Setelahnya, anak-anak pendeta tersebut berbincang-bincang dengan Karen. Ketika mereka berbicara tentang pakaian, budi pekerti, dan kecantikan, mereka membuat kepala Karen terasa sakit. Ia teringat masa-masa ketika masih bahagia tinggal bersama Sang Ratu.
**
Pada hari minggu berikutnya, ketika keluarga sang pendeta pergi ke gereja, mereka bertanya apakah Karen tidak akan ikut pergi ke gereja bersama mereka. Karen hanya dapat memandang wajah sang pendeta dan keluarganya dengan sedih, air mata mengalir dari matanya, dan menetes mengenai tongkat yang menopang tubuhnya. Keluarga sang pendeta pergi ke gereja, Karen tetap tinggal di kamar kecilnya. Di kamar itu hanya ada sebuah tempat tidur dan sebuah kursi. Karen duduk sambil memegang buku doa, membacanya dengan khusuk, angin yang lembut berhembus menuju rongga hatinya, ia merasa tersentuh dan air mata membasahi wajahnya, ia berkata, “Tuhan… maafkan aku!”
Esok harinya, saat matahari bersinar begitu cerah. Tepat di hadapan Karen, berdiri malaikat dengan jubah putih, sama dengan yang ia lihat malam itu di pintu gereja. Namun kini malaikat itu tak membawa pedangnya. Kini di tangannya hanya terdapat tangkai-tangkai hijau harum dan mawar-mawar yang merekah. Sang malaikat menyentuh langit-langit kamar Karen dengan tangkai-tangkai hijau harum dan mawar-mawarnya. Dan di mana pun ia menyapukan tangkai-tangkai hijau harum dan mawar-mawarnya di sana akan tampak bersinar keemasan seperti ditaburi bintang-bintang. Lalu malaikat itu menyentuh dinding-dinding kamar yang kemudian menjadi tampak sangat luas.
Ajaib, Karen dapat melihat organ-organ yang berdenting, merasakan alunan suaranya, ia melihat lukisan-lukisan tua para pendeta dan istrinya terpajang di dinding, para jemaah gereja duduk di kursi yang nyaman, dan menyanyikan pujian-pujian dan doa-doa dari buku doa. Gereja itu telah didatangi seorang gadis miskin yang berasal dari sebuah kamar sempit, dirinya sendiri. Gadis miskin itu duduk dengan keluarga pendeta, dan ketika mereka selesai menyanyikan lagu-lagu doa dan pujian mereka menoleh, dan mereka berkata sambil mengangguk, “Kau benar-benar datang ke sini, Nak!”
“Ini adalah kasih sayang Tuhan!” kata Karen.
Alunan organ berdenting merdu, suara paduan suara anak-anak terdengar lembut dan manis. Sinar matahari mengalir begitu cerah dan hangat melalui jendela hingga jatuh ke bangku gereja yang diduduki Karen. Hatinya dipenuhi kehangatan sinar mentari, kedamaian dan sukacita yang membuncah. Jiwanya terbang bersama matahari berserah pada Tuhan, dan tidak ada lagi yang membicarakan soal sepasang sepatu merah.
Sumber : https://1t4juwita.wordpress.com/2013/09/11/kutukan-sepasang-sepatu-merah-dongeng-h-c-andersen/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar